Dominasi Bahasa Asing dalam Ruang Digital: Tantangan Revitalisasi Bahasa Indonesia


 Bahasa merupakan salah satu unsur penting dalam pembentukan identitas suatu bangsa. Indonesia sebagai negara kesatuan memiliki Bahasa Indonesia yang telah diakui sebagai bahasa resmi negara melalui UUD NRI Tahun 1945 Pasal 36. Bahasa ini tidak hanya menjadi simbol kebangsaan melainkan juga sebagai instrumen integrasi nasional yang menjembatani keragaman etnis, budaya, dan bahasa daerah. Namun, perkembangan teknologi informasi dan globalisasi menimbulkan tantangan baru bagi eksistensi Bahasa Indonesia, terutama dengan semakin dominannya penggunaan bahasa asing dalam ruang digital.

Menurut Gerard Goggin, digital adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan penggunaan teknologi komputer elektronik dan jaringam telekomunikasi dalam pengolahan, penyimpanan, dan penyebaran informasi. Sehingga dapat diartikan ruang digital merupakan  segala bentuk aktivitas yang terjadi melalui perangkat digital, seperti komunikasi daring, mencakup media sosial, aplikasi, situs web, hingga konten hiburan yang tidak terikat oleh batasan geografis dan waktu. Ruang digital yang kita kenal umumnya didominasi oleh peggunaan bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Banyak istilah digital yang memiliki padanan dalam Bahasa Indonesia namun kurang populer karena dianggap tidak modern dan tidak keren. Kata-kata seperti loginupdateupload, dan influencer lebih sering dituturkan dari pada  masukpembaruanunggah, dan pemengaruh yang merupakan padanannya dalam Bahasa Indonesia. 

Fenomena ini mencerminkan kecenderungan masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda, untuk lebih memilih menggunakan bahasa asing dalam komunikasi digital karna stigma yang diciptakan oleh masyarakat itu sendiri. Dominasi tersebut tidak hanya menciptakan jarak dengan bahasa nasional, tetapi juga berisiko melemahkan fungsi Bahasa Indonesia sebagai bahasa utama dalam kehidupan sehari-hari.

Revitalisasi Bahasa Indonesia menjadi hal yang mendesak dalam menghadapi arus dominasi bahasa asing. Revitalisasi dalam konteks ini berarti menghidupkan kembali semangat penggunaan Bahasa Indonesia yang baik, benar, dan membanggakan, khususnya di ruang digital. Namun, upaya ini menghadapi berbagai tantangan:

  1. Persepsi bahwa bahasa asing lebih prestisius.

Glorifikasi bahasa asing masih sangat kuat tertanam di tengah masyarakat sendiri. Masyarakat menganggap penggunaan bahasa Inggris mencerminkan modernitas dan kecerdasan, sedangkan penggunaan Bahasa Indonesia dianggap kuno atau tidak profesional. Hal ini didukung di lingkungan pendidikan dan lingkungan kerja yang lebih menerima dan mengunggulkan sumber daya manusianya jika memiliki kemampuan bahasa Inggris dari pada bahasa Indonesia yang baik dan benar. Contohnya lebih banyak persyaratan yang meminta TOEFL (Test of English as a Foreign Language) dari pada UKBI (Ujian Kemahiran Bahasa Indonesia). 

  1. Kurangnya padanan kata yang populer

Salah satu tantangan utama dalam upaya merevitalisasi Bahasa Indonesia di ruang digital adalah kurangnya penutur aktif yang menggunakan padanan kata untuk istilah asing. Fenomena ini menjadi hambatan serius karena bahasa hanya dapat hidup dan berkembang jika digunakan secara konsisten oleh komunitas penuturnya. Ketika padanan kata seperti pranala (link), gawai (gadget), atau peramban (browser) tidak digunakan secara luas, maka istilah-istilah tersebut akan sulit diterima dan berkembang dalam ekosistem bahasa digital. Dengan adanya ruang digital diharapakan mampu menyebarluaskan padanan kata dalam bahasa Indonesia agar lumrah didengar ditelingah masyarakat.

  1. Kurangnya regulasi atau kebijakan yang mendorong penggunaan Bahasa Indonesia di platform digital 

Tanpa adanya kebijakan yang mengatur atau mendorong penggunaan bahasa nasional dalam media dan teknologi digital, maka penggunaan bahasa asing akan terus mendominasi ruang digital. Ketiadaan regulasi ini menyebabkan tidak adanya standar atau kewajiban bagi pengelola platform, media digital, dan pembuat konten untuk menggunakan atau memuat Bahasa Indonesia secara proporsional. Berbeda dengan negara-negara lain yang menetapkan kewajiban penggunaan bahasa nasional dalam produk digital dan layanan publik daring, Indonesia belum memiliki kebijakan yang cukup kuat dan spesifik dalam mengatur ranah ini. Akibatnya, banyak situs web, aplikasi, dan layanan digital yang hanya menggunakan antarmuka atau konten berbahasa asing tanpa menyediakan opsi Bahasa Indonesia yang berdampak pada sosiolinguistik yang mendalam. 

Upaya revitalisasi Bahasa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kesadaran individu sebagai aktor utama dalam praktik berbahasa sehari-hari. Membangun kebanggaan terhadap bahasa nasional harus dimulai dari diri sendiri, melalui sikap reflektif atas peran strategis Bahasa Indonesia dalam menjaga identitas, memperkuat integrasi sosial, dan menghadapi tantangan globalisasi budaya. Dalam konteks ruang digital yang semakin transnasional dan kompetitif, penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar merupakan bentuk nyata partisipasi kita sebagai warga negara dalam merawat simbol kebangsaan. Kesadaran individual yang tumbuh menjadi gerakan kolektif merupakan fondasi utama dalam melawan dominasi bahasa asing. Jika kita  mengambil peran dalam menghidupkan bahasa nasional melalui praktik keseharian, baik secara lisan maupun tertulis, maka proses revitalisasi tidak akan berhenti pada tataran wacana, melainkan menjadi gerak nyata dalam membangun kedaulatan bahasa di tengah era global.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Alih Kode Sebagai Strategi Kultural untuk Melawan Dominasi Bahasa Asing